KAJIAN LITERATUR AL-QUR’AN
TENTANG KITAB TAFSIR “SHOFWATU TAFASIR”
KARANGAN SYIEKH ALI ASH-SHOBUNI
Asbabun Nuzul
Mukaddimah,
Banyak para ulama yang telah menulis kitab yang khusus membahas asbabun nuzul , diantara mereka yang pertama kali menulisnya adalah Ali bin Madini, guru imam Bukhari , tetapi kitab paling terkenal tentang asbabun nuzul adalah kitab karya Al-Wahidy, meskipun didalamnya masih terdapat banyak kekurangan.
Kitab Al-Wahidy ini diringkas oleh Al-Ja’bary, ia membuang sanadnya, tapi tidak menambahkan anotasi sedikitpun dalam kitab ringkasan tersebut, dan Syeikhul islam Abul Fadhl Ibnu Hajar rahimahuallah, juga telah menulis kitab yang sama tentang asbabun nuzul, tapi beliau lebih dahulu meninggal dunia saat kitab itu masih berupa draf kasar, karenanya kita tidak bisa mendapatkanya secara lengkap.
Dan saya telah menulis kitab tentang asbabun nuzul, dan merupakan kitab yang lengkap, ringkas, dan sangat baik dan saya beri nama: LUBABUN NUQUL FII ASBAABIN NUZUL.
Al- Ja’bary berkata Al-qur’an diturunkan dalam dua bagian, pertama: turun dengan sendirinya tanpa adanya sebab atau pertanyaan, kedua adanya suatu sebab, seperti peristiwa atau pertanyaan pertanyaan .[1]
Pedoman mengetahui asbabun nuzul
Pedoman dasar para ulama mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat, itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini , bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’yu) tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab sebabnya dan membahas tentang pengertianya serta bersungguh sungguh dalam mencarinya”.
Inilah jalan yang dtempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan “ ketika kutanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai suatu ayat qur’an, dijawabnya Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar.
Al-Wahidi telah menentang ulama ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan “sekarang setiap orang suka mengada ada dan berbuat dusta, ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat. “[2]
Setelah dipelajari, sebab turunnya suatu ayat berkisar pada dua hal :
v Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu.
v Bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya.
Pengetahuan tentang asbabun nuzul mempunyai banyak manfaat (berguna) antara lain
- Mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa.
- Mengkhususkan (Membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
- Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalail atas pengkhususanya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.
- Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
- Sebab nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.[3]
Muhammad Ali Ash-Shabuni Dalam kitab “At-Tibyan fii ulumul qur’an manfaat asbabun nuzul adalah :
- Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
- Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
- Menghindari prasangka bahwa arti hasr dalam suatu ayat dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
- Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu raguan.[4]
Ada beberapa masalah yang dibahas dalam asbabun nuzul antara lain :
- Ada beberapa kelompok bahwa yang menganggap bidang ini tidak ada manfaat dalam mempelajarinya, karena menurutnya sama dengan masalah sejarah (tarikh), tetapi pendapat ini tidaklah benar, (sebaliknya) kita akan mendapatkan banyak manfaat dalam mempelajari asbabun nuzul seperti diatas.
- Para ulama ushul fiqh berpendapat suatu Ibrah (pelajaran) bisa diambil dari keumuman suatu lafadh ataukah dari kekhususan suatu sebab ? pendapat yang benar menurut kami (Imam Suyuthi) adalah yang pertama, bahwa pelajaran diambil dari keumuman lafadh yang ada. Contoh seperti ayat tentang dhihar atas Salamah bin Sokhr r.a, ayat lian, pada urusan rumah tangga Hilal bin Umayyah, dan hukuman Qadzaf, atas orang orang yang telah melancarkan fitnah kepada Aisyah r.a. ayat ayat diatas turun kepada orang orang yang telah disebutkan di atas, tapi bukan berarti hanya khusus berlaku buat mereka saja, tapi ayat ayat itu menjadi umum buat selain mereka, yakni seluruh kaum muslimin pada umumnya.
- Meskipun turunya ayat khusus untuk orang tertentu, tapi ia bisa menjadi umum hukumnya buat semua orang, kadang ada beberapa ayat yang diturunkan karena sebab khusus atas orang tertentu saja, tapi harus diletakan bukan pada kekhususannya, karena ada dalil yang menunjukan menjadi umum. Contoh firman Allah
Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut[309], dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa : 51)
Ayat tersebut ditujukan kepada Kaab bin Asyrafdan para ulama Yahudi lainnya, yang ketika dating ke mekkah menyaksikan korban perang badar, mereka mempropokasi kaum musyrikin untuk balas dendam kepada Nabi Muhammad saw. Orang orang musyrik bertanya kepada mereka : siapakah yang lebih dapat petunjuk, Muhammad dan para sahabatnya atau kami ? orang yahudi menjawab “kalianlah yang lebih mendapat petunjuk, sedangkan mereka adalah orang orang yang sesat”. Padahal mereka tahu dari kitab nereka (Taurat) akan sifat sifat nabi yang jelas disebutkan disana, mereka juga berjanji kepada Allah, bahwa mereka tidak akan menutupi apapun yang ada dalam kitab mereka, tapi mereka mengkihanati amanat yang semestinya dengan benar.
Ayat tersebut mengandung perintah yang harus dikerjakan yaitu, menyampaikan amanat, berupa sifat sifat Nabi saw yang tercantum dengan jelas dalam kitab mereka, hal ini sesuai dengan firman Allah
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “ (Qs. An-Nisa :58 )
Maka ayat ini menunjukan keumuman segala bentuk amanat.
Ayat ) ان الله يا مركم ان تؤدوا الامانات ) ini umum mencakup segala macam amanat, sedangkan ayat sebelumnya ( الم تر الي الذ ين اوتوا نصيبا من الكتا ب) adalah khusus untuk satu amanat, yaitu menyampaikan sifat Nabi saw yang tercantum dalam Taurat kepada seluruh umat manusia.
- Al-Wahidy berkata : Diharamkan bagi setiap muslim untuk mengatakan sesuatu yang berkenaan dengan asbabun nuzul, kecuali dengan riwayat atau mendengar langsung dari orang orang yang menyaksikan kejadianya, dan tahu persis sebab diturunkannya ayat tersebut.
Ulama berkata : mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu perkara yang hanya diketahui oleh para sahabat, dengan adanya tanda tanda yang mendukung pada hal itu, karena tidak semua sahabat mengetahui secara persis dimana dan kapan suatu ayat itu diturunkan, seperti dalam hadist kutubus sittah dari Abdullah bin Zubair r.a berkata, Zubair sedang bertikai dengan seorang laki laki dari kaum Anshar soal saluran air di sebuah dataran tanah yang berbatu maka Rasulullah bersabda : Siramilah tanahmu Zubair ! kemudian jika kamu telah selesai barulah air itu kamu alirkan ke ladang tetanggamu”. Maka orang Anshar itu berkata wahai Rasulullah, Apakah keputusan itu karena ia adalah anak bibimu ? maka wajah Rasulullah langsung memerah (tanda marah) (Hadist)
Zubair bin Awwam r.a berkata : saya tidak mengaggap bahwa ayat ini diturunkan, kecuali karena pertikaian tadi :
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“
- A. Banyak ahli tafsir yang menyebutkan sebab sebab yang beraneka ragam atas turunya suatu ayat, jika seperti ini keadaanya. Maka yang dijadikan patokan adalah ungkapan yang dikatakan mufassir tadi, jika ia mengatakan “ayat ini turun dalam hal ini”, yang lain mengatakan “ayat ini turun dalam keadaan ini”, dan mufassir ketiga mengatakan hal lain, maka telah dijelaskan bahwa mereka tidak bermaksud menjelaskan asbabun nuzul , tapi mereka bermaksud menafsirkan ayat tersebut. Maka tidak ada perbedaan pada perkataan mereka ini, jika memang kandungan artinya sama.
- Jika seorang mufasir mengatakan “ ayat ini turun dalam hal ini”, dan ada mufassir lain yang secara terang terangan menyebutkan sebab berbeda yang bertentangan, maka yang dijadikan patokan adalah yang kedua, karena yang pertama datang dari hasil istinbath (pencarian), contohnya hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a
Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.“
Ibnu Umar r.a berkata ayat ini diturunkan dalam masalah (maaf , menyodomi) , dan telah disebutkan sebuah hadist lain, dari Jabir r,a yang menerangkan sebab turunnya ayat yang menyalahi keterangan Abdullah bin Umar , maka yang dijadikan patokan adalah hadist Jabir r,a, karena ia adalah Naql (langsung menukil dari Nabi saw), sedangkan perkataan Ibnu Umar adalah merupakan hasil istinbathnya sendiri, Ibnu Abbas r,a juga meragukan tentang ini, kemudian ia menyebutkan sebuah riwayat seperti hadist Jabir.
- Jika seorang mufasir menyebutkan asbabun nuzul , dan mufassir lain menyebutkan sebab nuzul lain yang tidak sama dengan yang pertama , maka yang diambil patokan adalah yang salah satu dari mereka shahih sanadnya , contoh hadist yang diriwayatkan oleh syaikhan dan lainnya dari Jundub r,a berkata : Rasulullah pernah terserang penyakit sehingga beliau tidak bisa berdiri selama semalam dua malam lalu datanglah seorang wanita dan berkata kepada beliau : wahai Muhammad saya kira kamu sakit ini karena syaitanmu (sebutan untuk whyu) telah meninggalkanmu, maka Allah menurunkan ayat :
Artinya : “ Demi waktu matahari sepenggalahan naik , dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
Dikemukakan oleh Ath-Thabranidan Ibnu Syaibah, dari Hafsh bin Maisarah dari ibunya berkata : ada seekor anak anjing yang masuk kedalam rumah Rasulullah saw, anak anjing itu masuk kebawah tempat tidur Rasul dan mati disana, setelah itu wahyu berhenti turun kepada Nabi Muhammad selama empat hari, beliaupun berkata : apa yang terjadi dirumah ini ? kenapa jibril tidak mendatangiku ? maka saya berkata dalam hati (Khaulah) ! bersihkan dan tata serapi mungkin rumah ini, kemudian saya langsung menyapu rumah dan memegang sapu kebawah kolong tempat tidur , dan saya mendapati anak anjing yang mati itu. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam syarah shahih Bukhari kisah tentang terlambatnya turunnya wahyu akibat anak anjing adalah sangat masyhur, tapi bagi orang yang mengatakan bahwa kisah ini adalah sebab turunnya ayat adalah sangat gharib (aneh), lagi pula dalam kisah ini ada seorang perawi yang tidak dikenal dalam sanadnya, jadi yang dijadikan patokan (mu’tamad) adalah yang ada dalam riwayat shahih.
D. Jika sanad ke dua hadits ini adalah shahih, maka yang dirajihkan adalah hadist yang perawinya benar benar melihat sendiri kisah terjadinya peristiwa ini atau hal hal lain yang bisa digunakan untuk merajihkan, contohnya adalah hadist yang dikemukakan oleh Imam Bukhari dari riwayat Ibnu Mas’ud r,a berkata : saya pernah berjalan bersama Rasulullah di kota Madinah saat itu beliau sedang memegang tongkatdari dahan kurma, maka beliau melewati sekelompok orang Yahudi, kemudian orang Yahudi itu berkata Hai teman ! tanyailah Dia ! merekapun bertanya, hai Muhammad ! beritahu kami taentang ruh itu ? maka Rasulullah berhenti sejenak sambil memandang ke langit, saat itu wahyu sedang turun kepada beliau , ketika proses turun wahyu itu selesai, beliau bersabda
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al-isra : 85)
Dan dikemukakan oleh Tirmidzi – Ia menshahihkannya – dari Abdullah bin Abbas r,a ia berkata : orang orang Quraisy berkata kepada orang orang Yahudi : wahai kaum Yahudi ! berilah kami sebuah pertanyaan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Muhammad saw) . orang Yahudi berkata : tanyailah dia tentang Ruh , maka orang orang Quraisy pun bertanya kepada Nabi saw tentang ruh itu. Ayat (dalam hadist) ini menunjukan bahwa ia diturunkan di kota Mekkah, sedangkan hadist pertama (sekelompok orang Yahudi yang berpapasan dengan Nabi saw) menyalahi hadist ke dua ini. Dan kebanyakan para ulama telah merajihkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ini karena Abdullah bin Mas’ud r,a menyaksikan lansung peristiwa turunnya wahyu tersebut.
- Jika suatu ayat diturunkan setelah terjadinya dua sebab (peristiwa), dan sebab sebab yang disebutkan tidak saling bertentangan, maka ayat yang turun ini dikatagorikan turun karena sebab sebab tadi. Contoh hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ikrimah dan Ibnu Abbas bahwa Hilal bin Umayyah mengqadzaf (menuduh istrinya berzina) dihadapan Nabi saw dengan Syarik bin Syahma, maka Rasulullah berkata kepada Hilal : wahai Hilal ! kamu harmakaus mendatangkan sebuah bukti atau saksi atau jika tidak punggungmu akan dicambuk, wahai rasulullah jika salah seorang diantara kita telah melihat istrinya bersama seorang lelaki apakah ia masih harus mendatangkan seorang saksi? Maka Allah swt menurunkan ayat yang ditujukan kepada Hilal r,a :
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. “ (An-Nur:6)
F. Jika keadaannya berbeda dengan yang disebutkan diatas maka ayat yang seperti ini tergantung kepada banyak turun dan pengulanganya. Contoh adalah sebuah hadist yang dikemukakan oleh Syaikhan dari Musayyib berkata : ketika maut menjemput Abu Thalib, masuklah Rasulullah kedalam rumahnya, disana telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah , maka berkatalah Rasulullah kepada Abu Thalib : wahai Paman ! katakanlah “LAA ILAAHA ILLA ALLAH” Aku (Rasulullah) akan berhujah demi (keselamatan) mu dihadapan Allah dengan kalimat ini. Maka berkatalah Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah , wahai Abu Thalib jika engkau katakan kalimat itu berarti engkau telah membenci agama Abdul Muthalib, maka berkatalah Nabi saw, Demi Allah! “Saya akan selalu memintakan ampun buatmu selama Allah tidak melarangku “ maka turunlah ayat ini.
Artinya : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (At-taubah:113) .
At-tirmidzi juga mengemukakan hadist – dan menghasankannya – dari riwayat Ali bin Abi Thalib berkata : saya mendengar seseorang yang memintakan ampun kepada Allah buat kedua orang tuanya yang mati dalam keadaan musyrik, maka saya berkata : mana mungkin kamu memintakan ampun untuk orang tuamu yang musyrik ? maka orang itupun berkata, wahai Ali ! Nabi Ibrahim saja memintakan ampun untuk bapaknya yang mati musyrik ! bagaimana engkau melarangku melakukan hal yang sama , kemudian Ali menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah maka turunlah ayat di atas.[5]